Search

Sekaleng Ilmu

ليس لسلطان العلم زوال – Para penguasa ilmu tidak akan pernah sirna

Category

Aqidah

Hari Esok Tidak Ada Seorang Pun yang Mengetahui

Bismillah,
Sudah lama tidak menulis dan alhamdulillah diberikan waktu kembali oleh Allah azza wa jalla.  Hari ini tepat H-1 sebelum perkuliahan semester 8 dimulai. Semoga insyaaAllah ini adalah semester terakhir di jenjang S1 yang sedang dilalui. Entah apa yang akan terjadi kemudian, namun yang jelas semua itu harus dihadapi dengan semangat dan serius. Cuma di kampus ini atau mungkin di jurusan saya, hari pertama kuliah (Senin) sudah ada PR dan masuk jam 7 pagi. #semangat

Akan selalu ada rasa khawatir tentang hari esok dan masa depan yang selalu dihembuskan oleh syaithan -musuh Allah- padahal manusia diperintahkan untuk berusaha dan bertawakal kepada Allah azza wa jalla. Dengan itu pun kita membuat rencana-rencana harian, bulanan, tahunan, atau bahkan beberapa tahun kedepan. Itu baik dan tentu sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai parameter-parameter capaian hidup. Satu per satu mungkin terjadi menjadi kenyataan alhamdulillah,  namun tak jarang Allah takdirkan lain dan bahkan lebih banyak yang meleset kepada realitas yang lain. Tak jarang kita kecewa namun beberapa saat kemudian hati kembali terhibur, sebab tidaklah Allah mengganti sesuatu melainkan dengan sesuatu yang lebih baik darinya.

عَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [Surat Al-Baqarah (2) ayat 216]

Oleh karenanya jika Allah membuat meleset satu rencana yang telah direncakan oleh kita pada rencana yang lain (yang selalu diawal kita sedih atau kecewa, namun seiring berjalannya waktu ada hikmah di balik itu semua) maka yakinlah Allah azza wa jalla maha mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya.

Sehebat dan sedetail apapun manusia merencanakan suatu rencana untuk dirinya. Pada hakikatnya seorang hamba tidak mengetahui sedikit pun. Ingat sedikit pun tentang apa yang akan terjadi bulan depan, manusia tidak akan pernah tahu. Jangankan bulan depan , manusia pun tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi minggu depan terhadap dirinya. Jangankan minggu depan pun manusia tidak akan mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada harinya ESOK!

Semua hal yang ghaib adalah ilmu Allah azza wa jalla yang tidak akan kita ketahui setelah hal tersebut terjadi. Allah azza wa jalla berfirman

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Surat Luqman (31) ayat 34]

Disebutkan bahwa maksud dari (Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok) apakah kebaikan ataukah keburukan, tetapi Allah azza wa jalla mengetahuinya (Tafsir Al-Jalalayn surat Luqman ayat 34 versi online)

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalama bersabda:

مفاتيح الغيب خمس: إن الله عنده علم الساعة, وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام, وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير

“Kunci yang ghaib itu ada lima perkara: “Sesungguhnya hanya pada Allah sajalah pengetahuan tentang hari kiamat. Dialah yang menurunkan hujan, Dia mengetahui apa yang dalam rahim, seseorang tidak mengetahui apa yang akan dikerjakannya esok harinya, dan ia juga tidak mengetahui di bumi mana ia akan meninggal dunia. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

Manusia boleh berencana tapi Allah azza wa jalla jualah yang menentukan. So, tetap semangat, berdoa, berusaha dan bertawakal terus kepada Allah azza wa jalla tentang apa yang akan kita hadapi di depan.

Semangat! semester terakhir insyaaAllah dan terus bersabar selagi menikmati tiap detik-detik kesabaran yang indah ini.

 إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. [Surat Az-Zumar (39) ayat 10]

Washallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Deni Setiawan
Depok, 17/1/2016 atau bertepatan dengan 7 Rabiul Akhir 1437 H
Selesai beberapa saat sebelum adzan Shubuh pagi ini.

Penghalang Terbesar Bagi Seseorang Dari Kemaksiatan?

Hendaknya kita senantiasa ingat sebesar-besar penghalang dari kemaksiatan. Para ulama telah bersepakat, sebesar-besar penghalang seseorang dari kemaksiatan adalah dengan mengetahui bahwa Allah azza wa jalla mengawasi kita semua.

Pada saat jiwa kita membisikkan kepada diri ini untuk berbuat maksiat dan dosa, maka ingatlah bahwa Allah azza wa jalla sedang melihat dan mengawasi kita.

Sesungguhnya di antara nama-nama Allah azza wa jalla adalah Al-Bashir, dan maknanya sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrazzaq Al-‘Abbad Al-Badr -hafizhahumallah-:

“Yang maha melihat segala sesuatu, mengawasi segala hal sekecil dan serumit apa pun, Ia mampu melihat semut hitam yang berjalan di atas batu yang hitam pekat di tengah malam yang gelap gulita. Ia melihat perjalan sari-sari makanan pada bagian tubuh masing-masing. Yang mampu melihat peredaran darah pada saluran-salurannya, Yang maha melihat apa yang ada dibawah bumi yang ketujuh dan apa yang ada diatas langit yang ketujuh. Allah azza wa jalla mengetahui gerakan mata, sebagaimana ia mengetahui mata-mata yang berkhianat… dan nama yang agung tersebut memiliki konsekuensi (dari seorang hamba), yaitu berupa sikap merendahkan diri, tunduk, senantiasa merasa diawasi, serta sifat ihsan di dalam beribadah, dan menjauhi segala bentuk dosa dan maksiat.

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata: “Pada Suatu malam ada seorang laki-laki yang mengajak seorang wanita (untuk berbuat zina) di tanah lapang, maka perempuan tersebut menolaknya. Lalu laki-laki tersebut berkata kepada si wanita:

“Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang (dilangit)”

Maka perempuan tersebut berkata: “Lantas dimanakah Dzat yang memberikan cahaya pada bintang-bintang tersebut?”
Yakni: Bukankah Ia (Allah) melihat kita? Allah azza wa jalla berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Surat Al-‘Alaq (96) ayat 14

Cukuplah hal itu sebagai penghalang (dari dosa dan maksiat).

(Fiqh Asma’ullah Al-Husna, hlm. 156-160)
Inilah penghalang terbesar dari kemaksiatan. Oleh karena itu, sangatlah banyak di dalam Al-Quran ayat-ayat yang diakhiri dengan kata:

وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُون
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Allah maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan

وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُون
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan

إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya

Maka setiap kali seorang mengingatkan jiwanya dengan ayat-ayat tersebut, ia akan mampu untuk menahan dan mencegah dirinya dari perbuatan maksiat.

من كان بالله أعرف كان له أخوف
Siapa yang lebih mengenal Allah, maka pasti ia lebih merasa takut kepada-Nya.

Sebagaimana hal tersebut dikatakan oleh para ahli ilmu rahimahumullah.

Referensi : “Kaifa taghudhdhu basharaka?” pada point: Mengetahui dan meyakini bahwa Allah azza wa jalla Maha Melihat.

Deni Setiawan
-Al-faqiir ilaa afwi robbih-

Nasihat pada hakikatnya adalah ditujukan untuk pemberi nasihat itu sendiri.

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit

Bismillah…..

Entah kenapa ketika hal-hal yang disenangi oleh diri kita mulai satu per satu terpenuhi maka kecenderungan untuk selalu mengingat Allah -trendline- nya kok cenderung turun ya?

Pernahkah merasakan hal yang demikian, ketika hal yang kita inginkan dikabulkan oleh Allah azza wa jalla, setelah itu kita akan sangat bersyukur, lantas beberapa jam atau beberapa waktu kemudian kita seolah-olah lupa dari apa yang telah Allah berikan kepada kita.

Kita terus menerus berdoa untuk meminta hajat kepada Allah azza wa jalla, meminta dijauhkan dari segala kemudharatan, meminta segala bentuk nikmat-nikmat Nya yang begitu luas. Saat semuanya telah terpenuhi, kita lupa dengan sang Pemberi. Bahkan yang lebih parah kita malah berbalik mendurhakai-Nya bersamaan setelah tak lama keinginan kita itu terpenuhi. Naudzubullah……..

Sungguh tak tau diri bukan…

Saat mendapatkan kesulitan kita lebih banyak berkeluh kesah. Tatkala sudah kembali dilapangkan oleh Allah azza wa jalla, maka kita menjadi kikir, kufur, pura-pura lupa, dan ahhhh sudahlah sebutkan saja segala bentuk eforia yang terlarang itu. Tidak ada yang lebih baik kecuali panjatan syukur yang seharusnya rasa syukur tersebut terus menerus memenuhi relung hati kita.

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعً

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا

Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,

Ohhh, ternyata memang benar, sudah hafal ayat diatas?

(potongan surat Al-Ma’arij ayat 19-20)

Sifat manusia seperti ituuu….
Tapi, tentu itu bukan menjadi pembenaran tentunya.

Ketika melewati ayat demi ayat Al-Quran tiba-tiba ada satu ayat yang sangat memukul diri ini –khususnya– entah kenapa ayat ini seolah-olah langsung menusuk hati yang paling dalam. Memecahkan keheningan, lebih tepatnya –nyindir– yang membacanya.

وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِن قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادًا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِ ۚ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا ۖ إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Artinya:

Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”.

Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam tafsirnya

Yaitu disaat terdesak ia berendah diri memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (Al-Isra: 67)

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya dalam surat ini:

kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu. (Az-Zumar: 8)

Yakni dalam keadaan sejahtera dan makmur dia lupa terhadap doa dan tadarru’ yang pernah ia panjatkan kepada Allah azza wa jalla.

Adapun firman Allah jalla jalaluhu:

dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalanNya. (Az-Zumar: 8)

Yaitu dalam keadaan sejahtera dia mempersekutukan Allah menjadikan bagi-Nya tandingan-tandingan.

Katakanlah; “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (Az-Zumar: 8)

Yakni katakanlah kepada orang yang keadaannya demikian dan jalan hidupnya seperti itu, “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu sedikit waktu”. Ini merupakan ancaman yang keras dan janji yang pasti, semakna dengan firman-Nya:

Katakanlah, “Bersenang-senanglah kamu karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.” (Ibrahim: 30)

Dan firman-Nya:

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras. (Luqman: 24)

Semoga kita tidak termasuk kedalam orang-orang yang hanya taat beribadah tatkala ada mau nya saja. Tatkala kenikmatan menyapa kita bertubi-tubi, kemudian kita menjadi lupa akan apa yang selama ini kita minta kepada Allah. Kita melupakan Allah di waktu lapang. Kita lupa akan tangisan-tangisan kita selama kita dirundung musibah. Aku berlindung kepada Allah jalla jalaluhu dari sikap yang demikian. Karana mengingat Allah itu ada di dua waktu. Baik diwaktu sempit dan di waktu lapang.

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.”

(HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

Asalullahal Ikhlash…….. 

Bogor, Jawa Barat

Ahad, 20 Rabbi’1 1436 H

Deni Setiawan, ST (Semoga cepaT lulussss 🙂 dari kampus berlogo Gajah ini aaminn ya Allah )

-saudaramu yang sedang sama-sama belajar-

Aqeedah-related lessons learned from the events of the Israa’ and Mi`raj

Bismillah,

            As a good Muslim we must belief whatever Allah azza wa jalla tells us in the Qur’an and the prophet Muhammad Shalallahu alahi wassalam in its hadeeth, either it is logic or it is beyond our imagination. There are many benefits which can be derived related to Aqeedah lessons from the main hadeeth of Muhammad’s (shalallahu alaihi wassalam ) Israa’ and Miraaj. Israa’ literally means a journey by night and Miraaj literally means an elevator, i.e., an instrument which lifts something up. But, in Islam, Israa’ refers to a miraculous night-journey made by the last Prophet (sallallaahu `alayhi wa sallam) from Makkah to Jerusalem, and Miraaj refers to the vehicle which took the Prophet (sallallaahu `alayhi wa sallam) from Jerusalem, up and out of the universe, through the seven heavens, and into the direct presence of Allaah.[1]

Image

Following are the aqeedah-lesson derivation related to Israa and Miraaj:

  1. We must belief that Israa and mi’raj had been done by the Prophet Muhammad Shalallahu alaihi wassallam with his body and spirit, not just spirit alone. Although, it is not logic, but if we have a straight mind, our mind should submit the hadeeth (true revelation). Allah said:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Exalted is He who took His Servant by night from al-Masjd al- Haram to al-Masjid al-Aqsa…”(al-Isra: 1)[2]

 

  1. We must belief that salah prayer is compulsory related to hadeeth about Israa-Mi’raj. As mentioned in the hadits :

“The Prophet (sallallaahu `alayhi wa sallam) continued going back and forth between his Lord and Musa until Allaah said, “They are five prayers everyday, Muhammad, each being rewarded as ten, so that makes fifty times of prayer.”[3]

 

  1. The main hadeeth (same with no.2 3) show us that the prophet Muhammad shalallahu alaihi wassalam had entered heavens. He tell us that heaven is made of pearls, the soil is made of musk (al-Misk). So, it is a refutation for the Christians who states Isa alaihi salam had entered heaven.
  2. We must belief that he prophet Muhammad, shalallahu alaihi wassalam, had been cut in his chest and his heart had been washed with Zam Zam water.
  3. We must belief about virtue of zamzam water. Efficacy of zamzam water depends on the intentions who drinks it.
  4. The ascent of Muhammad shalallahu alaihi wassalam is clearly evidence that Allah azza wa jalla is in the heaven (above). Supporting the following verse :

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“The Most Merciful ( who is ) above the Throne establish” (Thaha: 5)[4]

 

  1. We must belief that Jibreel has a lot of primacy than another angels.
  2. The hadith shows us that Allah azza wa jalla directly speaks to Muhammad shalallahu alaihi wassalam, even he ( the prophet ) repeatedly returned back to Allah azza wa jalla for asking the obligation prayer lighter for his followers (ummah).
  3. We must belief that Allah azza wa jalla is the most Merciful to this Ummah, Allah had assigned rewards of prayer fifty times but the obligation is only five.
  4. The obligation of every Muslim in responding about news which come from the authentic hadith (although it is not logic) is we must sincerely accept it. Allah azza wa jalla said :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“The only statement of the [true] believers when they are called to Allah and His Messenger to judge between them is that they say, “We hear and we obey.” And those are the successful.” (An-Nur: 51)[5]

 

Thus, We can also see several aqeedah-lesson in Israa Miraj, as follows:

  1. In this story about Israa-Miraaj was very clear to prove that Abu Bakar called Ash-Shidiq. He obtained that because he confirm the news of Muhammad shalallahualaihi wassalam with very high confidence. Allah had mentioned him in the Qur’an:

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“And the one who has brought the truth and [they who] believed in it – those are the righteous” (Az-Zummar: 33)[6]

  1. We must belief that the prophets before Muhammad shalallahu alaihi wassalam is life in their graves, but in the Barzakh life. There is no proof that we allow to pray (tawasul) to them.
  2. We must belief that the amount of angels are in large number and no one knows about their number except Allah azza wa jalla.
  3. Muhammad Shalallahu alaihi wassalam is kalimur Rahman ( People who speaks directly to Allah azza wa jalla).
  4. We must belief that Allah azza wa jalla has property “Kalam” with truthfully speaks.
  5. We must belief about the high position of the obligatory prayers in Islam, because Allah has directly ordered this obligation.
  6. We must belief that Heavens and Hells was already exist, because the prophet had seen it when Miraaj.
  7. We must belief in unseen matters such as Buraaq, The guardian angels sky, Baitul Ma’mur, The gates of heaven and Sidratul Muntaha with its properties, etc.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

[1] http://www.islamhouse.com/370836/en/en/articles/Israa_and_Miraaj ,by Abu Ameenah Bilal Philips

[2] http://quran.com/17

[3] Reported by Anas ibn Maalik and collected by al-Bukhaari no. 2968 and 3598

[4] http://quran.com/20

[5] http://quran.com/24

[6] http://quran.com/39 

 

This is specially proposed to fulfill assignments in A commentary on Ibn Qudaamah al-Maqdisee’s, The Radiance of Faith, (leading to the path of guidance)

[Lum’ah al-I’tiqad al-Hadi ila Sabili ar-Rasyad]

Deni Setiawan Abu Muhammad [ST 10031274]

Bandung, Indonesia

 

Bid’ah ways of conducting the funeral procession, burial, condolence and visiting graves

Bismillah,

This topic is tightly related to my country, Indonesia, because in Indonesia you will easily see how the people conduct funeral procession, you will surprisingly see how the Indonesian people visit walisongo graves (the people who was highly meritorious to spread Islam in Indonesia) with a very large number visitors about hundreds even thousands people a day. Basically, Islam has a vivid laws about funeral procession, burial, etc. We can find it in Al-Quran and mentioned in Hadiths. But many people doesn’t known or still firmly hold to the belief of ancestors. Moreover, in Indonesia itself, there are animism and dynamism belief related to this topic.

baqi
Before, I continue my writing, Allah Azza wa Jalla said:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
“…This day I have perfected for you your religion and completed my favor upon you and have approved for you Islam as religion…”[1]

Allah had clearly stated that Islam was perfect, all of the laws about everything related to Islam had been finished by the prophet shalallahu alaihi wassalam to this ummah. Especially about ahkamul janaiz, the laws about corpse, it is very clear in Islamic shariah although it has a differences in fiqh. But, unfortunately many people have intentionally or inadvertently fallen in Bid’ah to this issue.

For example,

a. It is Bid’ah to build mosque up in the graves
Especially, In Indonesia there are many mosque which is in mosque yard is built graves up even, it is located in front of mosque. That things is prohibited by Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. He said:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا
“Allah was cursing the Jews and Christian because they have made their prophets grave as a mosque. Allah warned what they do.”[2]

b. Among the exaggerated attitudes to the graves is put on it a house or roof. From Jabir, He said:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“The Prophet shalallahu alaihi wassalam forbade for giving cement on the grave, sitting on top of the grave and giving a building over the grave.”[3]

c. Ceremonial of the death (also known in Indonesia as selamatan) is procession that usually held on day 7th, 40th, 100th. This event is done in order to send invocation together to the dying person in the grave. Then, in this event, the host serve various foods even with money (will be given to the guest after the event end). Related to this phenomenon, all of them are contradict with the hadith. Otherwise,It is sunnah that the neighbor must help the bereaved family for serving them food, etc. The prophet shalallahu alaihi wassalam said:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“Serve a meal for the family of Ja’far because they had been seized with matters which bring them to be busy.”[4]

d. It is prohibited to be wailing and screaming over the dead. Asy-syaikh ibn Uthaymeen rahimahullah said: “Niyahah is lament performed by men and women, but this is mostly done by women.” (Al-Qaulul Mufid ‘ala kitabit tauhid). The prophet strictly forbade this acts. ‘Abdullah ibn ‘Umar reported that Hafsah cried when ‘Umar died and he said to her “Take it easy”. Don’t you know that the Messenger of Allah said:

“Verily the dead are punished in their grave by the wailing of their over them.”[5]

The dead will suffer due to the wailing of relatives in two cases:
1. When the deceased requested mourning prior to his death
2. If the deceased knew that it was the practice of the people and he did not request that they do not do so over him.[6]

The sins of niyahah will not be forgiven except by making true repentance. The virtues don’t eliminate its sins because niyahah is a major sins. Therefore a major sin will be abolished only by repentance. (Al-Qaulul Mufid ‘ala kitabit tauhid, 2/25).

e. It is Bid’ah to recite adzan while burying the dead person. Many people agree to recite adzan based on this hadith

لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
“The corpse still hear the sound of adzan until the graves has not been plastered by soil”[7]

 

But Imam Ibnul Jauzi rahimahullah said:

هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“This hadith is not authentic, it is propped on behalf of Muhammad shalallahu alaihi wassalam” [8]

So, the conclusion, there is no argumentation that recommend to recite adzan while burying the dead person. It is obviously bidah.

Giving an advice is easy to say but is hard to do it. It is a true dilemma when we advise people about truth but we fell apprehensive regarding their comment, jibe, and taunt. Hence, Dawah need a good methodology and knowledge enough about what we will advise people.

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam said:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Make it easy and don’t make it difficult, give a good news and don’t make the people run”[9]

Being patient is strictly required when we want to tell the truth about bidah in funeral procession, burial, etc. Moreover, many bidah which has been conducted usually come from the old belief. As we know, if someone want to counterattack the old belief with the truth, a resistance will appear as a rejection, even they maybe said, “It is the sunnah not bidah”.

There are a good ways to bring dawah easily to be accepted:
1. Find someone who has a good reputation and respected by the people, Inshaa Allah, if He/she advise them about this cases, it make the advices will be considered.
2. Give a book to the people related to this topic. by reading a book or article, it will make a viewpoint wider than before and it is expected the people can accept the truth.
3. Pray and ask Allah Azza Wa Jalla because Hidayah is belong to Him. We cannot make someone go to be guided or misguided.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


 

[1] http://quran.com/5
[2] HR. Al-Bukhari (no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) and Muslim (no. 531 (22)) from ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[3] Narrated by Muslim. 970

[4] Narrated by Abu Dawud no. 3132 and Tirmidhi no. 998. Shaykh Al-Albani said that this hadith is hasan

[5] Reported by Ibn ‘Umar and collected by al-Bukhaaree and Muslim Sahih Al-Bukhari, vol.2, p.213 no.379

[6] Funeral Rites In Islam, Abu Ameenah Billah Philips: 2009
[7] Narrated by Ad-Dailami in Musnad al-Firdaus no. 7587
[8]Al-Maudhu’at, 3:238
[9]HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69


 

This is specially proposed to fulfill assignments in A summary of Islamic Jurisprudence

[Al-Mulakhash Al-Fiqhiyy] 

Deni Setiawan Abu Muhammad [ST 10031274]

Bandung, Indonesia

 

How early scholars would respect knowledge and its sources

semakin berisi merundukBismillah,

It is very incredible to know about struggles of the scholars in seeking knowledge. Many of them have sacrificed their wealth, treasure, and property for the sake of seeking knowledge. However, we know that our treasure is one of the test for Muslim in the world and it is very naturally loved by humans. Just the opposite, maybe we feel, it’s very hard to sacrifice a little of our property in seeking knowledge.

As good thulabul ‘ilm, we must always follow our predecessors, how they respect knowledge and how they give attention in seeking knowledge. Formerly, many scholar have devoted all their possessions as well as they can. Moreover, there is a statement from one of scholar, Syu’bah, He said:

 

مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ أَفْلَسَ

“Whoever studying hadith / seeking science of religion, It will go bankrupt”[1]

 

Imam Asy-syafi’i rahimahullah said,

لَا يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إِلَا لِمُفْلِس

“Not worth it for those who seek knowledge except those who prepared poor / broke”[2]

 

Ibnu Sa’ad said, that I listen Musa bin Dawud said,

أفلس الهيثم بن جميل في طلب الحديث مرتين

“Al-Haytham ibn Jamil went bankrupt twice when looking for a hadith.”[3]

 

So, that is a thing that we should contemplate ourselves how we should respect knowledge properly when we compare again with their scholar’s attitude.   If we deeply search in history book, there are many examples about story which give us depiction how scholars are really staggering in their life high dedicated in Islamic knowledge.

Imam Abu Hanifah said in Jaami’u bayanil ‘ilmi wa fadhlihi I/509 no.819

 

«الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم»

“The stories of the scholars and sit with them (to study knowledge) are more I like than much fiqh’s problem, because these stories contain good manners and their behavior”

Such, the scholars tell us that sometimes read stories about pious generation and below (scholars who follow the best generation) are preferable than study theory.

Allah azza wa jalla said,

 

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون

“There was certainly in their stories a lesson for those of understanding. Never was the Qur’an a narration invented, but a confirmation of what was before it and a detailed explanation of all things and guidance and mercy for a people who believe”

(Yusuf : 111)[4]

 

And then, Ibnu Mubarak had been asked,

: قيل لابن المبارك، إلى متى تطلب العلم؟ قال: «حتى الممات إن شاء الله

“When will you finish in seeking knowledge ? He said, until the death comes insyaa Allah”[5]

The spirit that scholar have make them enthusiastic in seeking knowledge, however, they have given many examples we can follow them in our lives. The Prophet Muhammad Shalallahu alaihi wassallam have declared a good news,

من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع

“Whoever is go out to seek knowledge, then he is in the way of Allah until he returns” (narrated by At-tirmidzi)

Based on the hadith above, many scholars have showed us how they truly practice it (May Allah bless and accept all their good deeds). In seeking knowledge, the scholars didn’t go out in a short times maybe for one, two or three days but for several months, years, or decades. Moreover, they usually faced many distraction and obstacles in their trips, such as thirsty, hungry, distress, and other dangers threats them at any times.

فقد رحل الإمام أبو عبد الله محمد بن إسحاق بن منده لطلب العلم وعمره عشرون سنة، ورجع إلى بلده وعمره خمسة وستون عاماً، وكانت مدة رحلته خمسة وأربعين عاماً، وسمع فيها العلم وتلقاه عن ألف وسبعمائة شيخ، فلما رجع إلى بلده تزوج وهو ابن خمسة وستين عاماً، ورزق الأولاد، وحدث الناس وعلمهم

“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Mandah had gone to travel to seek knowledge when he was 20 years old, and returned back when he was 65 years old. So He had made a trip for 45 years. At that time, He had listened and took a knowledge from 1700 teachers. Then He returned to his country and marred when he was 65 years old. He was blessed with several children, then he deliver his knowledge (hadith ) to the ummah and teach them.”[6]

Actually, there are still a lot of stories about how scholars respect knowledge in their life, and an outstanding story has been collected in history book created by scholars. But, I only can partly write it in this assignment. So, hopefully we can slightly imitate and follow them in good attitude of seeking knowledge.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

[1] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/410 no.597

[2] Al-Jami’ liakhlaqir rawi,  1/104 no.71

[3] Rihlah fi thalabil hadits pg. 205, 

[4] http://quran.com/12

[5] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  no.586

[6] Tadzkirah Al-Huffazh 3/1032 created by  Al-Imam Adz-Dzahabi

 

This is specially proposed to fulfill assignments in Etiquette’s of Seeking Knowledge

Deni Setiawan Abu Muhammad [ST 10031274]

Bandung, Indonesia

Anda Sedang Sedih ? Loh Kok Bisa Ya ?

 

sadBismillah,

Ibnul Qayim berkata :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh mana kesabaran dan penghambaannya”

Perkataan emas yang senantiasa menghibur diri kita tatkala dilanda musibah dan kesedihan yang mendalam. Hidup di dunia ini memang tidak mudah. Tugas besar yang harus diemban oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi; menjaganya, memakmurkannya dan melindunginya. Manusia juga harus menerima ujian dan cobaan yang silih berganti sebagai rintangan hidup. Selain itu, dia juga harus berani bersaing dengan yang lainnya agar bisa mempertahankan hidup dan harga diri. Pada sisi lain dia juga akan dimintai pertanggung jawaban oleh Sang Khaliq di hari kelak. Dunia yang fana membuat dirinya harus memutar otak dan peras keringat untuk menggapai kebahagiaan keduanya.

Allah adalah pencipta manusia dan alam semesta. Dialah yang memberikan karunia para hamba-Nya di dunia dan akhirat. Dia jualah yang menjamin kehidupan yang mapan bagi siap yang tas kepada-Nya. Allah Azza wa jalla berfirman

 عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: ” Ini adalah berita dari yang Maha benar, Dia memberi tahu hamba-hamba-Nya yang memiliki ‘ainul yaqin, bahkan haqqul yakin, bahwa sesungguhnya Orang yang beramal shalih akan diberi kehidupan yang baik menurut kadar keimanannya. Akan tetapi Orang bodoh salah mengartikannya. Mereka mengira bahwa orang yang mendapatkan kenikmatan adalah yang memperoleh berbagai macam makanan, minuman, pakaian, punya istri, atau memiliki kekuasaan dan harta. Tidaklah diragukan lagi bahwa kenikmatan ini juga dimiliki oleh binatang. Maka orang yang hanya mengandalkan kenikmatan dunia, itu seperti binatang. Besok pada hari kiamat tergolong orang yang akan dipanggil dari jauh.

Di antara sarana yang paling besar untuk kelapangan hati ialah memperbanyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Berdzikir ini memiliki pengaruh yang mengagumkan bagi kelapangan dada, ketentraman hati dan hilangnya kegelisahan di dalam dada. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Rad: 28)

Dzikrullah adalah suatu amalan yang sangat mudah sekali untuk dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Allah menjanjikan kepagian, ketenangan hidup dan perlindungan dari-Nya bagi siapa saja yang mengingat-Nya. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan fadhilah dzikrullah. Akan tetapi banyak pula yang melupakannya.?!
Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
Orang beriman sangat mengetahui dengan sebenarnya bahwa sumber kebahagiaan dan kedamaian adalah hati yang bersih. Bila hati bersih dan suci, maka kebahagiaan menanti. Namun jika hati kotor, maka kesengsaraan yang harus dihadapi. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:
َدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا , وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)

Sungguh orang yang bahagia adalah yang dapat menggapai Surga Allah dan orang yang rugi adalah yang tempat kembalinya Neraka yang penuh dengan siksa.
Periksa kembali hati kita apakah ada sesuatu yang salah yang membuat hidup ini menjadi terasa berat untuk dilalui?

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Merupakan sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, musibah atau yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).
Segala nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau mengatakan
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ
“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”(QS. An-Naml: 40).

Mudah-mudahan tulisan yang penulis sajikan ini dapat bermanfaat terutama sekali bagi penulis sendiri dan semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada orang tua penulis. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita temasuk golongan hamba-hamba yang bersyukur atas karunia yang ada, dan bersabar atas ujian dan cobaan hidup yang menimpa. Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa kita dan kamu muslimin seluruhnya. Amiin!
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

1. Al Wabil Ash-Shayyib hal. 5

2. Majalah Al-Furqan, Edisi 8 tahun 1428, dinukil dari Badai’ut Tafsir, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 3/51

[disadur dari buku Manisnya Dunia, Pahitnya Neraka]

Written by : Deni Setiawan Abu Muhammad [ST 10031274]

email : deni.setiawan@iou-students.com

Grave Worship Phenomenon

GraveBismillah,

Idolaters ,when they were hit by a very powerful disaster, they usually purify worship only to Allah. However, if the catastrophe is over, then they re-associating partners with Allah. This is as it was spoken by Allah azza wa jalla in the following verse:

فإذا ركبوا في الفلك دعوا الله مخلصين له الدين فلما نجاهم إلى البر إذا هم يشركون

” And when they board a ship, they supplicate Allah, sincere to Him in religion. But when He delivers them to the land, at once they associate others with Him” (Surat al-Ankabut: 65) [1]

This verse has same meaning in many verses in Holy Qur’an explain about this issue.

While the idolaters in our time, they always do Shirk, both in great conditions or calamity. Even (which is worse), in a state of calamity, they still do shirk, wal’iyadzu billah. Thus, it is clear that pagainism ( now ) is worst than the pagan polytheists in ancient times.

 

What is the Islamic ruling on seeking help from the dead ?

من الناس من يستغيثون بالاموات فيقول مثلا اذا وقع في كرب او شدة: يا بدوي اغثني او يا دسوقي ادركني

Among the people there are asking for help from the dead. For example, when he is faced in experiencing difficulty or suffering, he said, “O ‘Abdullah (ie Ahmad Al-Badawi), help me,” or “O Dusuuqi, please help me.”[2]

Istighatsah is the practice of worship that should not be directed to other than Allah. Because in human logic that any dead person can not hear what we want, they will get busy with their case in grave (barzakh).

Original state, the dead can not hear, based on the word of Allah Ta’ala:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala also says:

وما أنت بمسمع من في القبور

“but you cannot make hear those in the graves.” (Surah Fatir: 22)[3]

As well as other verses. The dead can’t hear anything, so how can the dead answer my help or extend our wish/request to Allah azza wa jalla ? Even some scholars say that Dead is sleep and sleep is Al Wafaat Ash Shughra (little death). As Allah Ta’ala says:

وهو الذي يتوفاكم بالليل ويعلم ما جرحتم بالنهار

“And it is He who takes your souls by night and knows what you have committed by day” (Surat al-An’am: 60)[4]

The above verse clearly says that the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam alone can not make the dead to hear, but he was the most righteous man. That is, it is clear that anyone who is dead can not hear the cry of people who are still alive. Ask the person who is dead is shirk because in asking for help we must always dedicate it to God alone.

 

Is a Muslim allowed to do extensive travelling to particular places of worship?

From Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, the Prophet shallallaahu’ alaihi wa sallam said :

 

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي

“Do not be a journey (rihal) held, except to one of the following three mosques: Masjid al-Haram, Masjid Al Aqsa, and Masjid Nabawi (Prophet’s Mosque).” (Narrated by Bukhari number 1197)

 

There is a hadith which convey same with this hadith above, such as the hadeeth of Abu Hurayrah radhiyallahu ‘anhu, the Prophet shallallaahu’ alaihi wa sallam said :

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى

“Do not be an organized trip, except for one of the three following mosque, Masjid al-Haram, the mosque of Prophet shallallaahu ‘alaihi wa sallam and the Aqsa Mosque.” (Narrated by Bukhari number 1139)

 

The hadith prohibit to include safar in order of worship to a place solely because that place. So, every safar is done in order of worship in a particular place is prohibited, except to three mosques before, namely Harom Mosque, Masjid al-Aqsa mosque and the prophetic. If we make a safar because of friendship, trade, seek knowledge, recreation and other permissible activities, then no problem. Such as we seek knowledge to a mosque in Indonesia, then this is not a problem.

 

How should students of knowledge approach these issues in their respective communities ?

People who advised

A preacher must consider the condition of people who advised. Do not oversimplify it. He should pay attention to the most useful way in their advice. Ways that are beneficial to the general public is not necessary suitable for advising king or ruler or a prominent person, such as community leaders.

Allah Almighty has said to Moses and Aaron when they were sent to Pharaoh:

فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى

And speak to him with gentle speech that perhaps he may be reminded or fear [Allah].[Thaha/20: 44]

Time And Conditions attention in preaching.

Not wise when came a man who was sleeping, then walking to advice him. And is not wise to go to someone who was emotional to speak in his presence. Suppose under normal conditions would have been that person will want to hear our words. Choose a time and the right conditions for the propagation. The atmosphere or being tense or muddy conditions avoid debate and dialogue to ease tensions. Because if we enforced, it  could lead to counter-productive results (not profitable).

Laying The Right Priority Scale.

A preacher should be able to put the right priorities in da’wah. Let him put the things that are most important, he should not put the small matters and he left the case bigger and more dangerous. One of the priorities laid can lead to deviations in da’wah. The Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam has explained to us an example of the priority scale. When he shallallaahu ‘alaihi wa sallam sent Muadh radi’ anhu to the country of Yemen, he said to him:

إنك تقدم على قوم أهل كتاب فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله عز وجل فإذا عرفوا الله فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في يومهم وليلتهم فإذا فعلوا فأخبرهم أن الله قد فرض عليهم زكاة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم فإذا أطاعوا بها فخذ منهم وتوق كرائم أموالهم

“You will come to a people from among the scribes, so make them early ,in your da’wah, is worship of God alone. If they have to recognize God, tell them that God requires above their five daily prayers day and night. If they do then tell them that Allah requires over their zakat taken from their rich people and given to the poor among them. If they obey treasures so take it from them, and avoid their beloved treasures.”

Don’t underestimate people Who Advised

This dismissive attitude can make people who advised do not want to hear our preaching. Do not ever impress yourself better than him/her. Or see yourself more special from him. Or make it angry at first impression.

Mu’tamir bin Sulaiman narrated that he heard his father say, “Do not expect people who have made ​​you angry to listen your words”.  However, give the impression that you are a brother to her. Avoid quickly sentenced blindly and recklessly because it’s simply not the way of wisdom. The Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam has explained how a Muslim attitudes to older people and younger than himself. There are respect your elders and love younger. Respect for others, especially in the context of the mission to facilitate the receipt of our mission.

 

 

[1] http://quran.ksu.edu.sa/index.php?l=en#aya=29_65&m=hafs&qaree=husary&trans=en_sh

[2] Al-Kalimatun Nafi’ah fil Akhtha’is Sya’i’ah hal. Pg.26

[3] http://quran.ksu.edu.sa/index.php?l=en#aya=35_22

[4] http://quran.ksu.edu.sa/index.php?l=en#aya=6_60

 

This is specially proposed to fulfill assignments in Fundamentals of Tawheed (Islamic Monotheism)

Deni Setiawan Abu Muhammad [ST 10031274]

Bandung, Indonesia

Blog at WordPress.com.

Up ↑